Pendakian Welirang #2: Gagal ke Puncak

13:06 Ilham Firdaus 0 Comments

Nggak lama kami di air terjun mini. Lalu kami melanjutkan perjalanan. Dibanding dari Pet Bocor ke Kop-kopan, dari Kop-kopan ke Pondokan ini jalurnya lebih panjang, jauh. Kalau sebelumnya kami kehujanan pas ke Kop-kopan. Kali ini kami kepanasan dengan tiadanya pepohonan, emang ya medan terbuka gitu bikin serba salah. Tapi yah, jangan banyak ngeluh. Namanya juga kegiatan di alam bebas.

Kami rombongan pertama yang berangkat pagi itu. Jadilah kami yang terdepan. Lama-kelamaan kami disusul oleh sekelompok pendaki. Padahal seingat saya, waktu kami caw itu belum ada yang siap-siap buat berangkat. Tapi kok ini udah kebalap aja. Nggak tau jalan kami yang lambat kayak kuya atau merekanya yang jalannya cepet kayak antelope, tau-tau udah kesalip aja.

mendaki welirang jalur tretes
Mangats Ko, ada minuman seger

Mereka ada 4 orang, yang 3 jalannya biasa aja, setaralah sama kami. Tapi yang satunya jalannya bedas abis, kalau jalan selalu paling depan. Cepet banget, udah mah bawa carier paling gede di banding temennya. Mana mereka badannya kecil-kecil. Taunya anak SMK, kelas 2 pula. Aduh malu-maluin. Eh maklum deng, mereka kan masih muda, jiwa muda, semangat muda. Wajarlah. Kalau kami? Masih muda juga sih, tapi semangatnya aja kayaknya yang udah rapuh.

Akhirnya sepanjang perjalanan sampai Pondokan, kami mendaki bareng mereka. Good job buddy, nice teamwork! Yeah! May the force be with us!

Tujuan mereka sama, mau ke Welirang, siang itu juga. Kami berpisah di Pondokan. Mereka pasang tenda di Pondokan, sedangkan kami lanjut ke Lembah Kidang. Soalnya rencana kami, abis dari Welirang mau lanjut lagi ke Arjuna. Jadi biar sekalian pasang tenda di Lembah Kidang.

pos pondokan welirang
Pondokan, yang dalam karung itu belerang

Sambil jalan ke Lembah Kidang, kami mulung kayu bakar buat perapian. Banyak pohon tumbang. Karena nggak bawa golok, jadi kami cuma bawa kayu-kayu yang bisa diambil tanpa perlu dipotong. Setibanya disana cuma ada satu tenda, itu pun nggak ada orangnya. Masih muncak kayaknya. Lalu kami mendirikan tenda, posisinya sama persis kayak pas ndaki Arjuna.

Setelah pasang tenda dan beresin barang-barang, kami siap-siap buat summit attack ke Welirang. Pas mau ninggalin Lembah Kidang, penghuni tenda tetangga kami datang. Mereka abis dari puncak Arjuna.

Sambil senyum saya bilang gini, “Mas kami ke puncak dulu, nitip tenda mas ya”.

“Oh iya mas siap-siap, hati-hati mas”, jawab salah satu dari mereka.

“Oke mas, makasih”, timpal saya.

Lalu si Idang bilang ke saya, “Ngapain bilang nitip segala, mereka lah mau pulang”
.
“Masa sih? Yowes rapopo”, jawab saya nggak percaya.

Kemudian kami mulai mendaki ke puncak. Pas sampai di Pondokan, anak SMK yang bareng kami masih ada. Bilangnya mau ke puncak, tapi masih di Pondokan. Ternyata yang ke puncak cuma 2 orang termasuk yang jalannya bedas itu. Sedangkan yang 2 lainnya nggak ikut.

Menurut info yang saya dapat, dari Pondokan ke Puncak Welirang memakan waktu sekitar 3 jam. Jauh lebih singkat dari pada ke Arjuna si puncak PHP. Jalurnya udah bukan jalannya mobil Jeep lagi. Jalurnya berganti jadi jalan setapak yang menanjak terus, tapi agak lebar.

Jalur ini juga yang digunakan para penambang belerang buat ke kawah Welirang. Mereka biasanya sampai sore masih bolak-balik menambang. Ya sore hari mereka balik ke Pondokanlah. Jadi kalau ndaki pas jam-jam kerja mereka, selagi ketemu mereka jalan yang dilewati InshaAllah bener. Secara mereka udah hapal medan.

Meskipun kami nggak bawa beban banyak. Bawa yang penting-penting aja sama barang berharga, tapi tetep aja nggak mudah. Mana jalannya menanjak terus.

Ditengah perjalanan kami bertemu dengan 2 pendaki yang anak SMK itu, mereka turun. Saya pikir ini anak cepet banget jalannya udah turun lagi. Tapi taunya mereka nggak sampai puncak, balik lagi akibat cuacanya berkabut tebal. Jarak pandang cuma beberapa meter. Kami mah pantang mundur sebelum melihat langsung sendiri. Siapa tau nanti sampe sana kabutnya udah ilang kan.

Saat sampai di area yang cukup luas dan banyak ditumbuhi edelweiss, cuacanya bener-bener berkabut, meskipun ngga setebal yang diomongin anak SMK itu. Kami istirahat sejenak sambil mengabadikan momen. Tempatnya keren. Edelweiss dimana-mana dan diselimuti kabut. Dramatis banget!

gunung welirang berkabut
Tebel kabutnya

padang edelweiss gunung welirang
Padang Edelweiss diselimuti kabut

Lalu kami lanjut lagi. Dan ternyata yang diomongin anak SMK tadi bener. Kabutnya tebal sekali. Jarang pandang mungkin hanya 5 meter. Kami pun berjalan pelan-pelan, karena ada jalan yang harus melipir di pinggir tebing gitu. Keren sih pemandangannya dari situ. Tapi ngeri juga pinggirnya jurang, mana jalannya nggak keliatan. Salah langkah nanti tinggal nama.

Setelah itu medannya benar-benar terbuka, tapi kami nggak bisa lihat apa-apa karena jarak pandang terbatas akibat kabut tebal. Arah ke puncak juga nggak tau kemana. Kami nggak nemu tanda arah ke puncak gitu. Terus kami nyari titik yang sekiranya paling tinggi. Lalu kami berhenti di sebuah titik yang kami anggap tertinggi. Kami nggak tau itu puncak atau bukan, nggak ada tanda-tanda itu puncak sih. Tapi ya gimana lagi, jalannya nggak keliatan. Daripada hilang ditelan kabut, kami mendeklarasikan saja titik itu sebagai Puncak Welirang. Toh viewnya bakal sama aja, ketutup kabut. Heuheu..

puncak welirang berkabut
Nggak bisa lihat apa-apa

Akhirnya kami istirahat disitu, nyemil disitu, foto-foto disitu. Dengan asumsi, itu adalah Puncak Welirang. Selagi duduk-duduk disitu, kabut perlahan menipis. Pemandangan di depan kami mulai terlihat. Di depan kami ini sepertinya kawah, lalu ada kayak kolam gitu yang jaraknya lumayan jauh.

puncak welirang berkabut
Kabut menipis

Kemudian yang membuat saya kecewa muncul. Disebrang kami ada titik yang lebih tinggi dari yang kami injak saat itu. Saya jadi benar-benar yakin kalau yang saya injak bukanlah Puncak Welirang. Tapi yah nggak apa-apa, syukur-syukur udah bisa sejauh itu. Kalau dilanjutin juga nggak yakin dengan cuaca berkabut gitu, mana hari udah sore juga. Daripada kemalaman di jalan, kami lalu balik ke Lembah Kidang.

Sebelumnya saya udah cerita pas nitip tenda ke pendaki di Lembah Kidang. Faktanya pas kami balik ke Lembah Kidang, mereka udah nggak ada. Udah pulang. Bener juga kata si Idang, ngapain saya bilang nitip. Untung mereka nggak salah paham. Mereka mau pulang, terus dititipin tenda. Tapi karena udah dapat amanah, bisa aja mereka jadi takut dosa kalau tendanya ditinggal, jadilah tendanya dibawa pulang. Yah, itu hanya pikiran liar saya saja.

Di Lembah Kidang nggak ada orang lain lagi selain kami bertiga. Suasana sunyi senyap. Sumber air di Lembah Kidang yang sewaktu saya ke Arjuna airnya mengalir kecil, kali ini karena musim hujan alirannya jadi lumayan deras. Sampai-sampai suara alirannya terdengar ke dalam tenda. Ya, malam itu hanya suara aliran air yang menemani kami menghangatkan diri di dekat api.

Sesudah makan malam kami langsung tidur, karena rencana kami dini hari akan summit lagi ke Arjuna. Tapi saya merasakan hawa-hawa nggak yakin dari wajah Eko dan Idang, begitu juga dengan saya sendiri. Tapi kami tetap sepakat pada rencana. Sebelum tidur, saya pasang alarm jam 00.30. Lalu kami semua tidur.

Tapi malam itu saya nggak bisa tidur. Mata udah dipaksain merem sih, tapi tetep aja nggak tidur. Sekalinya tidur, kebangun beberapa kali. Malam terasa begitu panjang. Terus pas jam 00.30, alarm saya bunyi dan langsung saya matikan seketika. Ini waktunya summit ke Arjuna, tapi saya ragu. Lalu saya tanya Eko dan Idang mau summit atau nggak. Ayo aja katanya sih, tapi jawabannya meragukan. Saya tanyakan sekali lagi. Terutama Eko, cuma dia belum pernah ke Arjuna diantara kami bertiga.

“Ko, gimana? Muncak gak? Kalau aku kok males ya”, tanya saya.

“Ya udah Ham ngga usah, mending tidur aja”, kata Eko.

“Tenan a?”, kata saya menegaskan.

“Iyo”, jawab dia.

Si Idang juga setuju-setuju aja. Akhirnya kami lanjut tidur. Dan siapa sangka, setelah itu saya baru tidur pulas sampai pagi tanpa kebangun sama sekali.

Paginya kami leyeh-leyeh agak lama di Lembah Kidang. Lalu sesudah sarapan dan packing logistic, kami pulang dengan selamat ke asal masing-masing.

pagi hari di lembah kidang
Chef Idang

pagi hari di lembah kidang
Leyeh-leyeh

Pendakian kali ini, meskipun saya nggak sampai puncak. Sampai sih, tapi puncak versi saya sendiri. Setidaknya saya mendapatkan pelajaran. Ketika saya memiliki keinginan atau ambisi, saya akan terus berusaha untuk mencapainya. Tapi jika kondisinya memang benar-benar tidak memungkinkan dan mungkin saja akan berakibat buruk bila dilanjutkan, lebih baik mundur dulu dan mencoba di lain kesempatan.

Dalam kasus saya, sewaktu saya ingin sekali ke Puncak Welirang, tapi kondisinya berkabut sangat tebal. Sampai-sampai jarak pandang hanya beberapa meter. Dari pada lanjut tanpa tahu arah, lebih baik saya berhenti dan mencoba lagi di lain waktu. Karena mungkin saja jika saya memutuskan lanjut dengan kondisi begitu, ada beberapa hal buruk dalam pikiran saya. Pertama, dengan kondisi kabut tebal seperti itu jalan jadi nggak kelihatan, yang terjadi adalah saya salah langkah dan jatuh terperosok ke kawah atau jurang. Kedua, masih akibat kabut, saya terpisah dengan yang lain, lalu saya nyasar dan hilang ditelan kabut. Dan masih ada lagi pikiran  liar saya kalo lanjut ke puncak.

Karena sesungguhnya tujuan akhir dari sebuah pendakian adalah kembali ke rumah dengan kondisi selamat. Puncak hanyalah bonus.

0 comments: