Mengantar Senja dan Menyambut Pagi di Papuma

06:20 Ilham Firdaus 0 Comments

tanjung papuma

Pantai Papuma merupakan salah satu pantai selatan yang sangat populer, khususnya di Jawa Timur. Keeksotisan pantai ini menjadi andalan pariwisata Kota Jember. Selain keindahannya yang tidak perlu diragukan lagi, yang membuat orang berbondong-bondong datang adalah mudahnya akses untuk menuju kesana dan fasilitasnya yang memadai.

Masih dalam long trip saya bersama Cahyadi yang berawal dari Coban Sewu, Pantai Wotgalih dan Pantai Puger. Kami melanjutkan perjalanan dari Pantai Puger menuju Pantai Papuma. Sebelum kesana, kami akan singgah dulu di Kota Jember. Kami akan meet up dengan teman saya yang berdomisili di Jember. Dia bukan asli Jember, dia sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jember. Namanya Nur.

Kami mau numpang reload amunisi kami yang sudah habis (baca: baterai kamera). Karena gawat kalau nggak di cas, saya nggak bisa bikin dokumentasi di destinasi selanjutnya. Kalau itu terjadi, nanti catatan perjalanan saya isinya cuma tulisan doang. Jadi nggak menarik, abis itu nggak ada yang baca. Kan bahaya banget.

Saya dan Nur udah membuat janji untuk ketemuan di depan kampusnya, dan kampusnya sendiri berada di kota. Kami nggak langsung menuju kesana. Saat itu udah dekat dengan waktu Shalat Jum’at, maka dari itu kami harus mencari masjid dahulu. Udah seharian lebih kami belum mandi. Karena mau shalat Jum’at, mau nggak mau kami harus mandi. Kalau nggak gitu sih nggak bakal mandi.

Saat ngisi bensin di pom, saya iseng-iseng ngecek toiletnya, eh taunya ada kamar mandi yang lumayan luas. Jadilah kami mandi di situ. Jarang-jarang pom bensin ada kamar mandinya, biasanya ya toilet aja gitu. Paling cuma bisa kencing sama boker. Lah ini ada bak mandinya segala.

Setelah mandi kami lanjut perjalanan lagi sambil nyari masjid. Saat mendengar adzan berkumandang, kami langsung merapat arah ke masjid yang sepertinya berada di pusat kota Jember. Ketika masuk ke dalam masjid rasanya adem, apalagi saat mengambil wudhu terasa seger banget. Berbanding terbalik dengan hawa di Kota Jember yang panasnya menyengat tubuh. Saya paling males sama hawa panas di kota. Bukan tanpa alasan, selama ini saya hidup di tempat yang bisa dibilang hawanya dingin. Dari kecil saya tinggal di kaki Gunung Ciremai yang berada di Kabupaten Kuningan. Dan sekarang saat kuliah, saya tinggal di Kota Malang yang udah terkenal hawanya dingin. Ya itulah alasannya saya nggak suka dengan hawa panas di kota.

Ba’da shalat Jum’at kami berangkat menuju meeting point, yaitu kampus UMJ. Dengan bantuan warga Jember alias tanya sana tanya sini, kami berhasil sampai di kampus UMJ. Langsung saja saya telpon si Nur suruh supaya cepet ke mepo, karena saya udah nggak kuat dengan panasnya Jember. Tapi dia nggak datang-datang, lama banget. Setelah di tunggu-tunggu sampai jenggotan akhirnya dia muncul bersama temannya menggunakan sepeda motor.

Kemudian kami digiring ke arah kostannya. Nggak jauh sih, nggak sampai 5 menit dari kampusnya. Lalu saya sampaikan tujuan kami yaitu numpang reload amunisi. Karena saat itu waktunya makan siang, kami diajak makan oleh Nur, dia juga mengajak teman kostnya yang lebih tua satu angkatan darinya. Mbak Wulan. Sebelum berangkat ke tempat makan, kami juga titip carier saya yang segede gaban itu.

Tempat makannya jauh gila, kami di bawa muter-muter kota Jember kayaknya. Padahal udah laper banget. Sambil makan, kami ngobrol-ngobrol. Nggak jelas ngomongin apa, random banget. Ngalor-ngidul lah pokoknya, saya nggak ingat. Yang saya ingat, saya ngajak mereka untuk ikut ke Papuma. Selain itu, mbak Wulan katanya udah sering kesana dan hapal jalan. Itu berkah banget untuk kami, jadi kami nggak perlu nyasar-nyasar dulu untuk menuju Papuma.

Sehabis makan kami kembali ke kostnya Nur. Namanya kost perempuan, ada tulisan “laki-laki di larang masuk” itu hal yang lazim. Maka dari itu kami hanya duduk-duduk di teras sambil ngobrol. Sedangkan mbak Wulan mau dandan dulu katanya. Kami nggak langsung berangkat ke Papuma, istirahat dulu sambil nunggu mbak Wulan selesai dandan, eh sambil nunggu baterai kamera penuh maksudnya.

Kemudian kami berangkat sekitar jam ½ 4 sore. Kami nggak khawatir kemalaman di jalan, karena dari Jember kota ke Pantai Papuma hanya memakan waktu sekitar 1 jam. Itu juga tanpa perlu nyasar. Dan pada kenyataannya kami sampai lebih cepat dari perkiraan. Hal itu tidak lain karena mbak Wulan nyetir motornya udah kayak pebalap moto GP, sumpah ngebut banget. Saya dan Cahyadi yang selama perjalanan selalu nyantai, paling mentok 70km/jam. Saat itu terpaksa menambah kecepatan karena harus mengimbangi kecepatan mbak Wulan. Kalau nggak, kami bakal ketinggalan jauh. Ada-ada aja emang.

Pantai Papuma emang udah populer banget, sebelum sampai di pintu masuk saja lalu-lalang wisatawan yang pulang/pergi banyak banget. Mana saat itu sedang long weekend, pas banget deh. Harga tiket masuk ke Pantai Papuma 15rb/orang dan 5rb untuk kendaraan roda dua. Dari pintu masuk masih terus lagi untuk sampai di pantainya. Nggak ada tempat parkir khusus, orang yang berwisata bebas parkir di sepanjang pantai. Karena pantainya sendiri memang panjang.

tanjung papuma
Ini si Nur sebelah saya

Suasana di Papuma ramai banget, di tiap titik pasti ada wisatawan. Mulai dari anak-anak sampai kakek-nenek ada. Fasilitas di Pantai Papuma lengkap. Kalau mau shalat, ada mushola. Mau makan, warung berjejer. Toilet juga banyak kalau mau kencing atau boker.

Kami mencari spot yang bagus untuk mengabadikan momen. Saat itu udah masuk waktu sunset, banyak wisatawan yang sedang mengabadikan proses terbenamnya matahari tenggelam. Kebanyakan fotografer pro, terlihat dari perlengkapan fotografinya. Mulai dari kamera tentunya, tripod dan berbagai macam lensa dan aksesoris kamera di ranselnya.

tanjung papuma
Para Fotografer Pro

tanjung papuma
Sunset

Saat matahari udah tenggelam dan hari semakin gelap. Nur dan mbak Wulan memutuskan untuk pulang. Saya ucapkan banyak makasih sama mereka karena udah mau direpotin hari itu. Makasih Nur, mbak Wulan! Sedangkan saya dan Cahyadi tetap tinggal di Papuma, karena kami akan bermalam di sana.

Lalu kami mencari lapak untuk mendirikan tenda. Saat sedang mencari lapak, kami di hampiri oleh seorang bapak-bapak. Dia bilang kalau di Papuma aman, tenang aja, sampai malam pun suasana tetap ramai karena warung-warung di sekitar ada yang buka 24 jam. Lalu dia menambahkan kalau malam itu giliran dia yang jaga jadi nggak perlu bayar lagi. Karena biasanya kalau sama orang lain bakal di tarik lagi untuk bermalam, katanya.

Setelah mencari-cari lapak yang tepat, akhirnya kami menemukan lapak dengan view yang cukup bagus. Kami mendirikan tenda tidak jauh dari batu karang menjulang yang menjadi ciri khas Pantai Papuma. Kemudian kami masak-masak dan makan. Kami iseng-iseng foto light painting yang nggak sempat kami coba saat di Wotgalih karena baterai kamera lowbat. Dengan ekspektasi ingin mendapat ribuan bintang lagi seperti di Wotgalih, kami tidur dulu dan bangun saat dinihari.

tanjung papuma
Papuma Light Painting

Jam 1 dinihari saya bangun, saya keluar tenda dan melihat ke arah langit. Tapi nggak banyak bintang yang saya lihat. Langit disana terlalu banyak terkena polusi cahaya, selain itu langit juga berawan. Saya kembali tidur dan bangun sejam kemudian dengan harapan kondisi akan membaik. Tapi nyatanya sama saja. Lalu saya tidur (lagi) dan jam 3 saya bangun (lagi). Tapi nggak ada perubahan, langit tidak secerah dan sebersih saat di Wotgalih.

Karena sudah terlanjur bangun dan nggak bisa tidur lagi, kami foto light painting lagi sembari menikmati malam di Papuma. Ketika akan tiba waktu sunrise, banyak wisatawan berdatangan. Ternyata mereka sedang berburu sunrise. Mau siang, mau malam atau sebelum matahari terbit Papuma selalu punya orang yang datang untuk berwisata.

tanjung papuma
Sunrise

tanjung papuma
Double Stick Martial Art

Ketika hari sudah terang, kami membongkar tenda dan bersiap untuk melanjutkan destinasi terakhir ke Air Terjun Madakaripura, Probolinggo.

tanjung papuma
Me and my bike!

0 comments: