Menyusuri Uniknya Jalur Pesisir Menuju Pantai Puger

20:34 Ilham Firdaus 0 Comments


Pantai Puger adalah salah satu pantai di Jember. Mungkin masih kalah terkenal dengan 'saudara'nya yaitu Pantai Papuma yang tersohor itu. Tapi Pantai Puger tak kalah eksotis jika dibandingkan dengan Papuma. Pantai Puger lebih dikenal sebagai tempat pelelangan ikan (TPI). Selain itu, di sana juga tiap tahunnya diselenggarakan Larung Sesaji. Kegiatan ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki yang diberikan, terutama oleh nelayan Puger. Mereka membuang jauh nasi tumpeng ke laut sebagai simbol untuk harapan mereka.
Perjalanan menuju Pantai Puger ini merupakan hari kedua dari long trip saya bersama Cahyadi. Hari sebelumnya kami sudah mengunjungi Coban Sewu di Malang dan Pantai Wotgalih di Lumajang (tapi gagal ke pantainya). Berdasarkan referensi dari google maps, dari Pantai Wotgalih ke Pantai Puger ada 2 jalur. Pertama, jalurnya lewat kota dengan waktu tempuh 55 menit. Yang kedua adalah jalur pesisir dengan waktu tempuh 1 jam 15 menit. Ya, semua itu estimasi waktu dari google maps.
Kami sudah memikirkan segala kemungkinan dari 2 jalur tersebut. Kalau lewat jalur kota sebenarnya banyak keuntungannya. Akses jalan pasti mulus dan ada petunjuk meskipun nantinya kami nyasar gampang tinggal nanya orang. Selain itu masalah motor. Kalau motor kehabisan bensin ya ke pom, kalau ban bocor ya tambal, kalau mogok tinggal ke bengkel. Berbagai masalah mudah diatasi kalau lewat kota.
Sedangkan jalur pesisir ini kebalikannya dari jalur kota. Jalan belum tentu mulus dan pasti jarang ada petunjuk. Terus nyari orang untuk ditanya juga bakal susah. Apalagi urusan motor. Motor abis bensin, ban bocor atau mogok mau di bawa kemana? Yang ada harus kami dorong sampai Jember. Nggak kebayang kalau hal itu terjadi bakal gimana nantinya.
Setelah mempertimbangkan semua kemungkinannya, akhirnya kami putuskan untuk memilih jalur.. ya kalian semua sudah tau jawabannya. Kami pilih opsi kedua, jalur pesisir. Kami ambil semua resiko yang bakal terjadi kalau lewat pesisir. Saya yakin itu nggak bakal terjadi, karena saya berpikir positif dan bawa enjoy aja perjalanannya. Alasan lain adalah karena saya penasaran dengan jalur pesisir. Saya ingin tahu apa yang bisa saya temui saat melewatinya. Karena kalau lewat kota udah sering, ya gitu-gitu aja.
½ 7 pagi kami sudah meninggalkan Wotgalih. Keluar dari gerbang bertuliskan Pantai Wotgalih, kami langsung ambil arah kanan (arah ke Jember). Kami nggak lewat jalan saat kami berangkat (ke Wotgalih). Perjalanan kami diawali dengan melewati ladang-ladang milik warga. Udara pagi itu segar sekali. Ditambah jauh dari kota, berkali-kali lipat sejuknya. Dan jalannya lumayanlah, nggak mulus sih, tapi nggak rusak juga kok.
Baru beberapa menit berlalu kami udah nyasar. Berawal dari sebuah pertigaan, kami memilih lurus karena jalannya lebih lebar jika dibandingkan dengan yang belok. Karena saya pikir jalan yang lebar adalah jalan utamanya. Awalnya saya PD aja. Sampai saya melihat sebuah jembatan besar yang arahnya berbeda dengan jalan yang kami lewati, saya mulai ragu. Saya bertanya pada Cahyadi yakin apa nggak dengan jalan yang kami lewati. Dia juga ragu. Kami ingin bertanya arah jalan, tapi kami nggak nemu orang satu pun.
Sambil nyari orang untuk ditanya, kami tetap terus dengan jalan yang kami lewati. Tapi lama-kelamaan jalan yang kami lewati ini rasa-rasanya mengarah ke laut, terdengar dari suara ombak yang semakin keras. Sebelum berangkat, saya menjadikan matahari sebagai patokan ke arah Jember. Karena matahari terbit di timur, dan Jember posisinya sebelah timur Lumajang. Maka saya tetapkan arah ke Jember dengan mengikuti Matahari.
Nah berdasarkan hal itu saya jadi semakin ragu. Alasannya, jalan yang kami lewati ini menuju ke arah selatan. Dan TIDAK bisa ke arah timur. Kenapa? Karena ke arah timur terpisah oleh muara yang lebar. Dari situ saya baru sadar fungsi jembatan besar yang saya lihat, untuk menyebrangi muara. Lalu saya yakin kalau jalan yang bener adalah dengan melewati jembatan karena searah dengan matahari.
Kami putar balik dan harus kembali ke pertigaan sebelumnya. Tapi sebelum sampai di pertigaan, saya melihat ada orang naik motor melewati jalan sempit di samping sawah dan langsung nyambung ke jembatan. Saya pikir itu ide bagus dan kami ikuti orang itu. Akhirnya kami tiba di jembatan yang menyebrangi muara. Kami istirahat sebentar sambil memotret kondisi jembatan dan muaranya.
jembatan pelintas muara lumajang
Muaranya lebar

jembatan pelintas muara lumajang
Bisa di pake foto juga

jembatan pelintas muara lumajang
Jembatannya besar dan mulus

Kemudian kami lanjutkan lagi perjalanannya. Mulai dari situ, kondisi jalan mulus banget. Saya bisa saja menambah kecepatan sampai kisaran 80-100 km/jam, tapi kecepatan maksimal saya cuma sampai 60 km/jam. Alasannya simple, pemandangannya keren, udaranya seger. Saya nggak mau terburu-buru melewati suasana seperti itu.
Seperti yang saya pikirkan sebelumnya, saya penasaran dengan apa yang akan saya temui dengan melewati jalur pesisir. Setelah menyebrangi muara, kami menemui hal-hal unik yang tidak akan kami temui kalau kami lewat kota. Mulai dari jalanan yang sepi pol, deretan pohon bakau (mangrove), hingga gurun berpasir hitam khas pantai-pantai di Lumajang. Bahkan saat melihat gurun dengan pasir hitam, kami turun untuk mengabadikan momen sesaat.
jalanan sepi lumajang
Jalanan sepi pol

gurun berpasir hitam lumajang
Gurun Pasir Hitam

Setelah beberapa lama, jalan yang mulus banget itu seketika habis. Berganti menjadi batu-batu kerikil berpasir. Jalan jadi jelek banget, kecepatan motor pun saya kurangi jadi nggak lebih dari 40 km/jam. Lalu ada satu tempat dimana jalan di depan kami ini amblas. Kami terpaksa keluar jalur dan melewati pasir. Pasirnya lumayan dalam, ditambah jalannya agak menanjak membuat Cahyadi harus turun dan mendorong motor.
Dengan medan yang semakin lama semakin di luar perkiraan, saya agak khawatir kalau ban motor bakal bocor. Apalagi setelah melewati jembatan yang menyebrangi muara udah nggak ada lagi pemukiman warga. Hanya ada alam dan kami. Lalu masalah bensin, udah mendekati huruf ‘E’. Sejak berangkat dari Wotgalih kami belum mengisi bensin lagi. Alasannya karena sepanjang jalan nggak ada yang jual. Jangankan bensin, orang dan pemukiman aja nggak ada. Pokoknya, pikiran-pikiran negatif menjalar. Tapi mau gimana lagi, saya nikmati saja perjalanannya.
Hingga akhirnya kami mulai melihat ada satu-dua rumah. Lama-kelamaan semakin banyak dan saat melewati sebuah sekolah (seingat saya SMP), ada tulisan PUGER disana. Ya, kami udah sampai di Puger! Kami di Jember! Sepanjang jalan itu saya melihat ada pantai dan perahu-perahu nelayan. Karena kami udah di Puger tapi nggak tau dimana Pantai Puger yang menjadi tempat wisatanya, kami bertanya pada warga. Ternyata, pantainya masih harus terus lagi.
Daaan tak lama dari situ, kami akhirnya tiba di Pantai Puger!
pantai puger jember
Nyantai dulu

pantai puger jember
Ombaknya lumayan

Pantainya sepi, entah karena masih pagi ataupun emang suasananya begitu. Warung-warung disekitar pantai juga masih pada tutup. Nggak kayak pantai-pantai di Lumajang yang pasirnya hitam, di Pantai Puger berpasir putih. Di kejauhan, terlihat Pulau Nusa Barong yang samar-samar. Di Pantai Puger dilarang untuk berenang karena ombaknya yang cukup besar. Kami hanya memandangi pantai dengan diterpa sejuknya angin laut. Itu sudah membuat saya nyaman berada di pantai. Kami juga sesekali bermain air di pinggir pantai.
Sebentar saja kami di Pantai Puger. Sekitar jam ½ 11 kami lanjut menuju Kota Jember.

pantai puger jember
Suasananya nyaman buat tidur

0 comments: