Momen Ngenes Ketika Naik Gunung

17:10 Ilham Firdaus 0 Comments

telaga taman hidup

Meski udah sering naik gunung, bukannya saya mulus-mulus aja waktu di perjalanan. Terkadang, ada aja kejadian mengenaskan yang menimpa saya. Kejadian yang bikin pendakian jadi nggak nyaman. Sampai-sampai bisa membahayakan diri sendiri. Hal itu gara-gara kelalaian saya dan teman saat menyiapkan keperluan pendakian. Berikut adalah momen-momen ngenes yang menimpa saya ketika mendaki gunung:

Sepatu yang kekecilan
Waktu naik gunung, kalau bisa, wajib malah, semua yang dipakai harus nyaman dipakai. Salah satunya sepatu. Poin pertama, usahakan pakai sepatu khusus naik gunung atau biasanya disebut sepatu trekking. Kedua, ini yang penting, pastikan ukuran sepatunya lebih besar satu nomor dari ukuran kaki. Ngepas aja nggak nyaman, apalagi kekecilan. Itu yang pernah saya alami beberapa kali.

naik gunung sepatu kekecilan
Sepatu saya yang kekecilan

Saat belum mampu beli sepatu sendiri, tiap naik gunung saya menggunakan sepatu trekking warisan milik kakak saya. Ukuran kaki saya 42-43, sedangkan sepatunya 40! Niatnya sih ngincer poin pertama, yaitu pakai sepatu gunung. Tapi bodohnya, perbedaan ukurannya yang jauh nggak saya perhatikan. Padahal saat dipakai udah jelas, itu jempol sampai nekuk saking sempitnya. Masih aja dipakai. Alhasil, kuku jempol kaki saya jadi korbannya. Beberapa minggu setelah turun gunung, jempol kaki saya nggak ada kukunya. Coplok! Yang kanan waktu habis dari Gunung Ciremai. Terus setelah dari Gunung Slamet, gantian yang kiri.

Efek peristiwa sepatu kekecilan ini yang parah terasanya saat turun gunung, karena kalau turun kan, jari-jari kaki yang nahan jadi tumpuannya. Nah itu rasanya sakit banget. Kalau udah gitu, saya jalannya jadi pelan banget dan sangat berhati-hati. So, supaya hal seperti itu nggak terjadi, wajib penuhi kedua poin yang saya sebutkan sebelumnya. Apalagi poin nomor 2!

Naik gunung tanpa alas kaki alias nyeker
Yang ini masih berhubungan sama yang sebelumnya. Bedanya kalau ini lebih lebih luas lagi, bukan cuma sepatu. Pokoknya alas kaki, mau itu sepatu atau sandal. Pernah nggak kalian naik gunung tanpa alas kaki alias nyeker? Kalau saya pernah. Itu terjadi saat pendakian pertama saya di Gunung Ciremai.

Kala itu saya mengenakan sepatu yang biasa dipakai untuk sekolah, sepatu kasual gitu deh. Bodoh memang, mau naik gunung apa mau ke sekolah. Di tengah perjalanan, di malam hari, sepatu saya jebol. Mana waktu itu posisinya cuma berdua sama teman saya, Heri, gara-gara ketinggalan dari rombongan. Saya maupun Heri nggak bawa sandal, dengan terpaksa saya harus nyeker! Disitulah momen paling menyiksa saat naik gunung untuk urusan kaki.

Sendal putus, diiket rapia deh

Berjam-jam saya nyeker hingga akhirnya saya pinjam sandal punya Ryan, setelah berhasil menyusul rombongan. Kaki saya pun terselamatkan. Tapi itu hanya bertahan semalam. Esoknya saat turun gunung, sandal pinjaman itu putus. Mau nggak mau saya harus nyeker lagi. Akibatnya kaki saya penuh luka gores. Untuk meminimalisir itu, saya berinisiatif pakai kaos kaki, begitu pikir saya. Eh baru beberapa menit, kaos kakinya bolong. Yaudah, nyeker lagi.

Berita baiknya, itu adalah pengalaman pertama dan terakhir saya nyeker saat naik gunung. Nggak mau lagi saya mengalami hal seperti itu. Solusinya biar nggak kayak saya, pakai sepatu trekking, yang masih layak pakai. Kalau solnya udah brodol, benerin. Kalau nggak bisa, beli lagi yang baru. Lalu buat jaga-jaga, bawa sandal kalau tiba-tiba sepatu jebol diluar perkiraan. Sandalnya juga jangan sandal jepit swallow, sama aja, nanti yang ada malah putus. Ujung-ujungnya nyeker juga.

Tidur menggigil di luar tenda
Apa hal yang paling nikmat saat naik gunung? Tidur. Ya, itu menurut pandangan saya. Setelah lelah mendaki seharian, tentunya hadiah terbaik adalah tidur di dalam tenda, dibalik hangatnya sleeping bag. Tapi apa jadinya kalau udah berjam-jam mendaki, malamnya malah tidur di luar tenda? Bahasa kerennya sih, tidur beratapkan langit berbintang. Iya kalau langitnya cerah, kalau mendung? Hujan yang ada.

Siapa coba yang mau malam-malam di gunung tidurnya di luar tenda? Saya juga nggak mau. Tapi saya pernah. Dua kali malah. Keduanya saya alami saat mendaki Gunung Ciremai. Waktu jaman-jamannya saya SMA, saya baru kenal yang namanya naik gunung. Saat itu mendaki gunung juga belum sepopuler sekarang, masih sepi-sepi tentram. Info yang masih jarang di internet berimbas ke wawasan saya yang minim soal dunia pendakian.

tidur di luar tenda
Ngampar diluar tenda

Kejadian pertama saat debut pendakian saya. Saya mendaki bareng 9 orang teman. Nah, detik-detik mengenaskannya terjadi saat kami sampai di pos Sangga Buana 2. Kami cuma bawa 1 tenda, punya Heri. Dengan kapasitasnya 2 person, tendanya Heri dipaksa buat masukin 4 orang. Alhasil mereka harus berdempetan. Sedangkan 6 orang lainnya (termasuk saya) ngampar matras di luar tenda. Mampus nggak tuh. Di ketinggan yang hampir tembus 3000 mdpl, saya hanya tidur beralas matras, beratap langit berbintang dan berselimutkan SB alias sleeping bag. Yang lebih ngenes, 5 teman saya lainnya juga pakai SB sih tapi dengan artian berbeda. Sarung Bag.

Pertanyaannya, dingin nggak tuh? Beuh, nggak usah ditanya! Rasanya kayak di dalam freezer kulkas, malah lebih extreme. Padahal udah pakai kaos lengan panjang, jaket 2 lapis, celana 3 lapis (celana gunung, kolor dan sempak), kaos kaki bola yang panjangnya selutut dan sembunyi dibalik SB, tapi itu nggak pengaruh. Dinginnya teteup tembus menusuk ke tulang. Nggak kebayang temen-temen lain yang sarungan doang.

desak-desakan di tenda
Desak-desakan dalam tenda dengan posisi duduk

Pengalaman kedua terjadi sebulan setelahnya. Kali ini lebih parah lagi, lebih konyol. Rombongan kami saat itu berjumlah 19 orang, 11 cowok dan 8 cewek. Nah, tenda yang kami bawa juga cuma satu. Masih tendanya Heri yang idealnya diisi 2 orang. Masalah besar, paling maksimal aja tenda itu muat 4 orang. 15 orang lainnya gimana? Solusi terbaiknya, semua cewek (8 orang) masuk ke dalam tenda dan mereka mau nggak mau harus tidur dengan posisi duduk! Kalau nggak ya, silahkan bergabung dengan para lelaki yang tidur beratap langit berbintang.

Dari 2 kali mengalami hal tersebut, kabar bagusnya kami semua selamat sentosa. Bersyukur nggak ada yang kena hypothermia meski semalaman tidur dengan kondisi mengigil menahan dingin. Dan terpaksa tidur berpelukan dengan satu sama lain demi menambah rasa hangat.

Supaya di gunung nggak ngalamin kejadian tidur beratapkan langit berbintang, gampang! Bawa tenda sesuai jumlah rombongan. Udah, gitu aja.

Dehidrasi berat akibat kehabisan stok air
Air adalah kebutuhan yang sangat penting saat naik gunung. Untuk minum, masak dan mandi. Abaikan yang terakhir. Pokoknya, air itu berharga banget. Apalagi di gunung-gunung yang nggak ada sumber mata airnya sepanjang perjalanan. Contohnya Gunung Ciremai jalur Linggajati. Jerigan 5L wajib terisi penuh dari awal pendakian.

Momen-momen kehabisan persediaan air adalah momen ngenes berikutnya. Apalagi kalau udah dehidrasi berat. Efeknya kerongkongan kering, pikiran nggak fokus dan 5L (lemah, lesu, letih, letoy dan leuleus). Imbasnya jalan jadi oleng dan sempoyongan. Tisoledat dan nyusruk jadi dampak rentetan berikutnya gara-gara udah nggak bisa fokus sama jalan di depannya.

air berharga digunung
Air sangat berharga di gunung

Peristiwa ini rada sering saya alami, tapi yang paling parah adalah saat debut di Gunung Ciremai dan ketika summit attack di Gunung Rinjani. Di Ciremai, kejadiannya saat turun gunung. Waktu itu rombongan kami terpisah jadi 3 grup. Paling depan grup pelari, mereka turunnya kayak lagi balap lari, ngebut. Kedua, grup oleng, ini jalannya sempoyongan akibat udah terserang 5L. Yang terakhir adalah grup ngesot karena jalannya lambat banget. Saya sendiri tergabung di grup oleng. Nah, di grup oleng ini isinya saya, Heri sama Gembong. Kami semua udah lemes banget gara-gara dehidrasi, stok air udah abis. Yaudah, jalan udah sering kepleset dan nyungsep deh. Kalau udah gitu biasanya saya suka mangkel sendiri. KZL. Pengennya cepet-cepet sampai rumah tapi perjalanan masih jauh.

Tapi WARNING yah, yang seperti ini jangan ditiru. Kalau mendaki gunung itu, usahakan 1 rombongan itu bareng-bareng terus, jangan terpecah. Soalnya kalau ada kenapa-kenapa kan susah juga. Kalau dulu mah saya belum begitu paham resikonya gimana.

Sedangkan di Rinjani, saya kehausan berat saat summit attack. Waktu itu kami hanya membawa persediaan air 1 botol air mineral 1.5L dan 2 botol 600mL untuk 5 orang. Ini gara-gara kami salah memperkirakan waktu pendakian dari Plawangan Sembalun ke puncak. Yang ternyata memakan waktu 8 jam (jam 3 pagi – jam 11 siang). Belum setengah perjalanan, air sudah habis. Mau balik lagi tapi tanggung. Alhasil kami tetap lanjut dengan sesekali minta air 1 – 2 teguk ke pendaki lain. Sungkan sih, tapi mau gimana lagi.

Untungnya ketika di gunung rasa kemanusiaan sesama pendaki itu tinggi, sehingga mereka dengan sukarela dan tanpa merasa berat hati memberikan sedikit airnya. Agar tidak merepotkan pendaki lain dan diri sendiri, solusinya bawa persediaan air yang banyak. Nggak perlu berlebihan, tapi secukupnya saja dan belajar untuk manajemen air yang baik ketika naik gunung.

Beban carier yang menandingi kulkas
Dan yang terakhir adalah naik gunung dengan beban carier yang berat banget. Ini juga bikin bikin frustasi. Emang sih, sebenarnya kalau bawa barang semakin banyak semakin bagus. Tapi harus dibatasi, barang-barang yang sekiranya nggak pernting nggak usah dibawa. Yang ada nambah beban saat pendakian nantinya.

Saya pernah sekali menyerah bawa carier gara-gara beratnya udah diluar kemampuan saya. Waktu itu lagi mendaki Gunung Argopuro via Bermi. Saya cuma ditemani 1 orang teman, Yogi. Mungkin ini juga salah satu faktor keputusan yang salah saya ambil. Udah pada tahu kan, kalau ke Argopuro waktu tempuh pendakian minimal 5 hari PP. Karena gelarnya sendiri adalah gunung dengan trek pendakian terpanjang di Pulau Jawa. Otomatis, logistik untuk pendakian juga semakin banyak.

naik gunung bawa kulkas
Belum seluruhnya dari isi carier

Biasanya saya naik gunung minimal 3 orang, sehingga pembagian logistik bisa dibagi. Sementara waktu ke Argopuro kami bawa semi carier ukuran 25L dan sebagian besar logistik ditaruh di carier 75L. Niatnya sih bakal gantian gitu sama Yogi kalau diperjalanan pegel. Eh, realitanya saya maupun Yogi bener-bener nggak mampu menanggung beban carier seberat logistik untuk 5 hari tersebut, meski udah gantian bawanya. Badan saya rasanya remuk.

Hari pertama yang rencananya camp di Telaga Taman Hidup, gagal total! Baru setengah perjalanan, kami menyerah. Pertama kali saya menggendong carier seberat itu. Nyiksa banget. Mau putar balik, tapi sayang karena udah jauh-jauh ke Probolinggo. Akhirnya kami memilih camp tepat di pinggir jalur pendakian. Baru esoknya kami lanjut ke telaga. Tapi cuma sebentar, karena kami putuskan untuk balik pulang ke Malang.

Ini kesalahan saya memang karena terlalu memaksakan diri mendaki ketika hanya ada 2 personil yang berangkat. Ditambah ketersediaan carier yang cuma 1 bikin logistik penuh di carier tersebut. Sehingga saat mendaki, beban ditanggung oleh yang kebagian bawa carier.

Untuk menghindari hal ini, baiknya latihan fisik lagi. Biar nggak lemah. Manajemen logistik, bawa barang penting untuk keperluan mendaki saja. Lalu packing dengan beban yang seimbang untuk tiap anggota rombongan. Jangan dibebankan ke satu orang saja. Kasihan. Tapi nggak masalah sih kalau orangnya kuat, tangguh dan berjiwa porter. Atau, sekalian aja sewa porter.


Kesimpulannya, 3 dari 5 momen ngenes tersebut saya alami sekaligus pada satu pendakian. Yaitu pada debut saya di Gunung Ciremai. Mulai dari nyeker saat berangkat, tidur di luar tenda ketika malam dan dehidrasi berat waktu pulangnya. Momen-momen tersebut terjadi karea murni akibat kelalaian saya dan teman-teman saat memanajemen keperluan pendakian.

Solusi umumnya untuk semua momen tersebut adalah lakukan persiapan yang matang sebelum naik gunung. Karena saat naik gunung itu harus nyaman. Kalau nggak, ya mungkin salah satu dari kejadian di atas bisa saja terjadi. So, kenyamanan saat mendaki itu penting.

0 comments: