Subuh-subuh Nyari Sunrise ke Batu Payung

09:14 Ilham Firdaus 0 Comments

batu payung lombok

Lombok memang punya sejuta keindahan alam yang tiada duanya. Sampai-sampai ada film yang dengan judul “Jangan ke Lombok, nanti gak mau pulang”. Saya sendiri merasakan hal itu. Namun surga-surganya Lombok terkadang berada dilokasi yang sulit dijangkau. Apalagi pulau seribu masjid ini minim angkutan umun. Cara paling efektif adalah dengan menyewa sepeda motor. Tarifnya rata-rata sekitar 60k – 75k per hari.

Yang bikin saya watir di Lombok ini soal keamanannya, katanya sih masih rawan begal. Apalagi daerah selain Mataram, seperti Lombok Timur, Lombok Tengah, dll. Padahal banyak destinasi menarik, Pantai Tangsi (Pantai Pink) di Lombok Timur atau Tanjung Aan di Lombok Tengah misalnya. Peristiwa pembegalan di Lombok ini udah nggak asing di telinga saya, entah itu langsung dari penuturan orang Lombok sendiri maupun dari berita. Yang bahkan dilakukan di siang hari! Waduh.

Saya sendiri selama di Lombok cari aman aja dengan traveling ke destinasi yang istilahnya mainstream dan dilakukan pada waktu-waktu normal (pagi / siang hari). Hingga akhirnya saya berani mengambil resiko dan keluar dari zona aman dengan traveling ke Pantai Batu Payung yang berada di Lombok Tengah dan berangkat pada dini hari demi mengejar sunrise!

Ini berawal dari ajakan seorang teman yang sedang berada di Lombok, Gumilang namanya. Karena datang untuk urusan pekerjaan, dia hanya punya waktu mulai sore sampai jam 9 pagi. Menggunakan sepeda motor sewaan dari hotel Gumilang menginap, kami berangkat pada pukul setengah 4 pagi. Gumilang langsung menggeber motor dari awal perjalanan. Meskipun rada watir bakal ketemu hal tak diinginkan, saya hanya berpikir positif saja. Gumilang sendiri sebelumnya pernah melakukan hal seperti ini dan dia lakukan seorang diri! Nggak ada takutnya emang orang Banyuwangi ini, kalau ada apa-apa ya tinggal santet!

Melalui jalan by pass yang mulus kami meng-gaspol motor ditengah kegelapan dan dinginnya malam. Tak ada siapapun selain kami di jalanan yang juga searah ke Bandara Internasional Lombok (BIL) tersebut. Sialnya, motor yang kami tumpangi ini nggak bisa ‘lari’, meskipun udah di-gaspol motor vario putih itu kecepatannya mentok di 80 km/jam.

Untuk menuju ke Pantai Batu Payung bisa mengikuti jalan ke Kuta Lombok yang terkenal itu. Seingat Gumilang, nggak jauh setelah melewati pertigaan yang terdapat plang menuju Kuta Lombok, terdapat Indom*ret. Nggak sampai 5 menit harusnya udah sampai. Tapi saat itu, kami nggak menemukannya. Malah jalan yang kami lalui semakin sepi dan gelap tanpa adanya penerangan lampu jalan. Hingga akhirnya Gumilang merasakan kejanggalan karena tak kunjung sampai.

Usut punya usut, ternyata kami nyasar! Meski salah jalan Gumilang nggak asing dengan daerah itu, karena ternyata dulu dia juga pernah nyasar ke tempat yang sama! Sampai-sampai dia berkata, “Haduh, bisa-bisanya jatuh di lubang sama”. Setelah mengecek dengan google maps, kami benar-benar berbeda arah dengan tujuan kami. “Lain kali mending ngandalin google maps aja deh dari pada jatuh di lubang yang sama”, tambah Gumilang. Ayo sekali lagi dapat piring cantik, bro! Hahaha!

Kami putar balik melewati jalan sebelumnya. Tapi karena google maps mencari rute tercepat, kami diarahkan melewati jalan pintas yang langsung menuju Tanjung Aan tanpa lewat Pantai Kuta. Sialnya, jalannya adalah jalan makadam. Mana kanan – kirinya pepohonan dan rumput-rumput yang tinggi. Kalau tiba-tiba disergap sesuatu kan susah kaburnya. Tapi pada akhirnya kami sampai di Batu Payung tanpa terjadi hal-hal yang buruk. Cuma nyasar itu doang. Yah itupun bagian dari perjalanan. Tiba di Batu Payung kami masuk gratis karena yang jaga belum bangun. Hehehe!

Lalu kami memarkir motor di sebuah warung yang pemiliknya seorang ibu-ibu yang sedang mempersiapkan dagangannya. Kami ngopi cantiks dulu setelah perjalanan yang menegangkan. Si ibu ini punya peliharaan yang beragam, mulai dari Kambing, Anjing hingga monyet berbaur satu sama lain. Anjingnya yang masih kecil menghampiri saya seolah meminta makanan. Karena saya hanya bawa sebungkus biskut dan chiki, saya kasih deh beberapa keping chiki. Eh dimakan. Mana bunyi kunyahannya udah kayak orang, lebih keras malah. Kres kres kres, gitu.

Setelah kopi habis dan shalat subuh. Kami menuju Batu Payung dengan melewati sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi. Baru saja beberapa langkah meninggalkan warung, beberapa anjing menggonggongi kami. Maklum, bau kami bau orang asing. Wajar kalau anjing-anjing itu langsung bereaksi. Untungnya mereka tidak mengejar / mengikuti kami, seolah hanya memberi peringatan atau mungkin sebuah ucapan selamat datang(?).

batu payung lombok
Sesuatu banget kan yah

Meski nggak tinggi-tinggi amat, mendaki bukit ini cukup menguras tenaga. Mana saya pakai celana jeans, benar-benar nggak nyaman dipakai untuk hal seperti ini. Nggak sampai 10 menit, kami sudah sampai di puncak bukit. Panorama dari sana sungguh mempesona. Di selatan terhampar samudra yang luas, di barat dan timur berjejer pantai dan di kejauhan sebelah utara menjulang dengan gagahnya Gunung Rinjani. Kami bersantai sejenak di puncak bukit sambil menunggu sunrise.

batu payung lombok
Menanti sunrise

batu payung lombok
Oh Rinjani…

batu payung lombok
Hhm

Kemudian kami menuruni bukit untuk menuju Batu Payung. Di perjalanan turun, saya melihat banyak banget jaring laba-laba di rumput. Seolah-olah bukit ini jarang dilalui manusia. Selain itu ada juga kotoran sapi. Yang bikin saya rada heran, bukan tainya, tapi letaknya itu lho bisa berada di titik yang kemiringannya agak terjal untuk ukuran sapi. Gimana caranya mereka naik bukit? Wong saya naik aja kadang butuh bantuan tangan. Lalu yang membuat saya berpikir keras, apa hubungan tai sapi dengan jaring laba-laba? Apakah laba-laba menjadikan sapi sebagai mangsanya dengan menjerat menggunakan jaring atau sapi di sana karnivora yang memakan laba-laba? Entahlah, nevermind!

batu payung lombok
Tuh jaring laba-laba dimana-mana

Begitu sampai di Batu Payung, kami kegirangan. Inginnya sih segera foto-foto, tapi nahasnya kami sama-sama mules. Alhasil masing-masing mencari lapak untuk boker. Saya ke arah barat kembali naik bukit mencari semak-semak. Sedangkan Gumilang ke arah sebaliknya. Setelah panggilan alam terpenuhi kami kembali bertemu di Batu Payung. Gumilang berkata, “Maeng iku pengalaman ngising terbaik seumur hidup!” Saya setuju! Gimana nggak coba? Boker sambil memandangi panorama yang luar biasa indah, plus di waktu sunrise. Beuh sempurna! Hahaha!

Ngomong-ngomong Batu Payung ini adalah sebuah batu berukuran besar dan terdapat bagian yang dapat memayungi dari panas atau hujan jika berada dibawahnya. Jadi jangan bayangkan batunya benar-benar berbentuk payung. Nggak gitu! Lebih enaknya langsung aja lihat pada hasil jepretan saya yah atau cari aja di google banyak.

batu payung lombok
Batu Payung

batu payung lombok
Banyak gaya memang :v

Pagi itu air di sekitarnya begitu tenang, asik untuk renang-renang santai. Snorkeling juga bisa karena biota lautnya cukup beragam. Mulai dari ikan-ikan kecil, terumbu karang hingga bintang laut saya temui di sana. Sayangnya karena Gumilang harus cepat kembali ke Mataram, kami melewatkan kesempatan itu.

Dari pengalaman ini, saya jadi paham kalau melakukan sesuatu dengan berani mengambil resiko itu kadar kepuasannya berlebih ketika telah berhasil melakukannya. Begitu juga dalam traveling. Coba saja jika saya ke Batu Payung di waktu-waktu normal. Selain panas, mungkin bakal banyak orang juga. Dan yang paling utama, pengalaman boker terbaik seumur hidup itu tak akan pernah terjadi. Iya kan? :v

batu payung lombok
Nyari spongebob sama patrick

batu payung lombok
View dari atas bukit

0 comments:

Seluncuran Tradisional Parit Abangan Bikin Pantat Sakit!

14:50 Ilham Firdaus 0 Comments

parit abangan lombok

Masih dengan rutinitas seperti minggu-minggu sebelumnya, di hari sabtu kami (saya, Saifud dan Yogi) selalu traveling. Kalau sebelumnya kami ke pantai, pulau dan air terjun. Kali ini kami mencari destinasi wisata yang anti mainstream, kami mau main seluncuran. Bukan di waterboom, melainkan di Parit Abangan. Sebuah saluran irigasi! Saya nggak salah ketik dan kalian juga nggak salah baca. Orang-orang menyebutnya sebagai waterboom / seluncuran tradisional. Ini bisa jadi opsi untuk yang nyari destinasi unik di Lombok.

Parit Abangan, begitu orang menamainya karena letaknya yang berada di Abangan. Seluncuran ini memang belakangan ini sedang ramai-ramainya dibicarakan di dunia maya. Awalnya ada seseorang yang mengupload video keseruan bermain perosotan di parit tersebut, lalu banyak netizen yang penasaran. Termasuk juga kami. Maka, ketika hari sabtu tiba kami langsung cusss menuju TKP.

parit abangan lombok
Arena seluncuran, lumayan panjang

Selain kami bertiga, Yogi mengajak 2 temannya yaitu Mbak Ria dan Rudi (yang sebelumnya juga ikut traveling bareng ke Mangku Sakti). Karena di sana bakal main air, pastinya dong saya nggak mandi. Setelah berkumpul semua, sekitar jam 9 pagi kami berangkat. Dengan bermodal waze, kami menuju Pringgrata (Lombok Tengah) sebagai acuan. Begitu sampai di sana, kami masih mengikuti arahan dari waze sambil bertanya-tanya pada penduduk setempat.

Begitu melihat sungai, saya berpikir jangan-jangan ini adalah aliran air yang akan menuju Parit Abangan. Yang bikin saya ragu, airnya nggak bersih. Ada orang mandi, orang yang lagi nyuci lah, sampai ada juga sekelompok bebek lagi berenang. Eh, kalau bebek-bebek itu boker di sungai itu gimana. Nanti pas meluncur bareng eeknya bebek lagi. Bukannya apa, takut budug entar.

parit abangan lombok
Airnya kecampur eek bebek

Saat sampai di TKP, udah ada beberapa orang yang lagi asyik main perosotan. Wih gila, melihat mereka meluncur di perosotan yang panjangnya sekitar 15 meter sambil teriak-teriak rasanya asyik banget. Mana airnya ‘terlihat jernih’ pula. Ya, sebatas ‘terlihat jernih’, bukan jernih beneran. Karena meskipun warnanya putih tapi itu kan efek aliran airnya yang deras. Coba aja kalau tenang, jadi kelihatannya hijau kusam karena udah tercampur dengan berbagai macam eek.

Tapi masa iya udah jauh-jauh datang nggak nyobain sensasinya, kan rugi banget. Jadinya malah kayak Rudi yang nggak mau nyebur gara-gara hal itu, begitu juga sama mbak Ria. Dengan tidak memperdulikan hal itu, Yogi dan Saifud ambil bagian duluan. Sedangkan saya masih mengabadikan momen dulu sebelum basah-basahan.

parit abangan lombok
Pantat kegerus

Awalnya rada ngeri-ngeri gimana gitu waktu udah turun ke sungai dan siap untuk meluncur. Ternyata permukaan paritnya itu nggak rata mulus, alias garinjul kalau basa sunda nya mah. Permukaannya berupa tonjolan-tonjolan bulat yang terlapisi lumut.

Tanpa babibu, saya langsung meluncurkan diri dan berteriak sepanjang arena seluncuran. Ternyata teriakan orang-orang (termasuk saya) yang main di seluncuran ini bukan hanya karena seru, tapi juga karena pantat sakit. Bayangin aja, meluncur di permukaan yang nggak rata kayak gitu. Yang ada pantat jadi korbannya. Tapi meski udah tau resikonya begitu, saya teteup ketagihan dan menjajalnya sampai 3 kali lagi. Setelah itu saya udahan, kasihan pantat saya. Nanti nggak bisa dipakai untuk duduk.

parit abangan lombok
Garis start

Lama-kelamaan, wisatawan yang datang semakin banyak. Bahkan ada juga bule yang “lancar” berbahasa Indonesia main perosotan ini. Yang menarik perhatian itu ketika ada seorang bocah yang meluncur sambil berdiri. Sensasinya udah kayak surfing gitu. Butuh keseimbangan untuk bisa meluncur dengan posisi seperti itu. Maka dari itu saat dia berhasil meluncur sambil berdiri sampai finish, wisatawan kagum dan memberikan standing applause. Widiiih!

parit abangan lombok
Nih bocahnya

Sebenernya saya masih pengen meluncur lagi waktu itu, tapi mengingat kondisi pantat yang udah nggak memungkinkan, saya akhiri saja. Mau dengan posisi berdiri juga nggak bisa. Huft. Padahal asyik banget. Mesti nyobain deh kalau ke Lombok. Ketika main ke pantai atau ke pulau sudah terlalu mainstream, Parit Abangan ini bisa dijadikan opsi yang menarik. Saya jamin, nggak bakal nyesel. Syaratnya cuma 1, pantat harus dalam kondisi sehat! #usapPantat

parit abangan lombok
Wohooo!

Berikut video keseruan kami menjajal Parit Abangan dengan taruhan pantat.


0 comments: